PENAKLUKAN PERSIA OLEH KAUM MUSLIMIN
Awal Misi ke Irak / Persia kuno (12 H / 633 M)
Setelah Perang Riddah usai, Khalifah Abu Bakr ash-Shiddīq ra duduk di majelisnya di Madinah. Udara gurun sore itu panas dan kering. Para sahabat senior hadir. Abu Bakr berkata dengan suara mantap:
> “Wahai kaum muslimin, kita telah menaklukkan kemurtadan di Jazirah. Kini saatnya menyebarkan cahaya Islam ke luar tanah Arab. Ke arah timur berdiri kerajaan Persia, penuh kezaliman. Siapa yang akan membawa panji Allah ke negeri itu?”
Semua mata tertuju kepada satu orang: Khalid bin al-Walid ra, sang jenderal tak terkalahkan.
Abu Bakr menatapnya dalam-dalam.
> “Engkau adalah Pedang Allah. Pergilah, wahai Khalid, mulailah dari Irak. Jangan berhenti sampai Allah memberikan kemenangan.”
Khalid berdiri, mencium tangan khalifah, lalu berkata:
> “Demi Allah, aku akan membawa pasukan ini hingga mereka tunduk pada kalimat Lā ilāha illallāh, atau aku mati di jalan itu.”
Jumlah Pasukan & Lawan
Pasukan Muslimin: sekitar 18.000 prajurit (terdiri dari kabilah-kabilah Arab yang setia setelah Perang Riddah).
Pasukan Persia Sassanid: berkali lipat lebih besar, puluhan ribu, ditambah sekutu Arab Kristen dari suku-suku di Irak (seperti Bani Taghlib dan Lakhmid).
---
Pertempuran Pertama – Dzat as-Salasil (12 H / 633 M)
Di tepi gurun Irak, pasukan Persia dipimpin oleh jenderal Hurmuz. Ia sombong, terkenal bengis, dan memakai kalung permata besar yang melegenda.
Khalid memimpin pasukan Muslimin. Ia berkata kepada tentaranya sebelum pertempuran:
> “Wahai prajurit Islam, jangan pandang jumlah mereka. Kita bukan melawan dengan kekuatan, tapi dengan iman. Ingatlah surga Allah menanti kalian.”
Pertempuran pecah. Pasukan Persia memasang rantai panjang untuk mengikat satu sama lain — agar tidak ada yang mundur (karena itu disebut Pertempuran Rantai).
Khalid menantang Hurmuz berduel. Dalam duel sengit, Khalid berhasil menebas leher Hurmuz. Pasukan Persia porak-poranda, banyak yang tewas dan lari.
Korban:
Persia: ribuan tewas, sisanya melarikan diri.
Muslimin: hanya sedikit yang gugur, kemenangan telak.
---
Pertempuran Ullais (12 H / 633 M)
Setelah kekalahan Hurmuz, Persia mengirim pasukan baru dibantu sekutu Arab Kristen. Pertempuran terjadi di dekat sungai Ullais.
Muslimin hampir terdesak karena jumlah musuh sangat besar. Khalid menengadah ke langit dan berdoa:
> “Ya Allah, jika Engkau beri kemenangan hari ini, aku akan bersumpah menumpahkan darah mereka seperti air sungai ini!”
Pertempuran berlangsung sengit. Akhirnya, pasukan Persia kalah. Begitu banyak yang terbunuh sehingga sungai di dekatnya benar-benar memerah oleh darah — karena itu perang ini dikenal sebagai Yaum an-Nahr (Hari Penyembelihan) atau Pertempuran Sungai Darah.
Persia & sekutu: lebih dari 70.000 tewas (riwayat al-Tabari).
Muslimin: ratusan syahid, tapi tetap menang.
---
Penaklukan Al-Hirah (12 H / 633 M)
Setelah Ullais, Khalid bergerak menuju al-Hirah, kota megah di tepi Eufrat, pusat kerajaan Lakhmid (sekutu Persia).
Penduduk al-Hirah ketakutan melihat kemenangan beruntun kaum muslimin. Mereka memilih berdamai. Sebuah perjanjian ditandatangani: mereka membayar jizyah (pajak perlindungan), dan kaum muslimin menjamin keamanan serta kebebasan beragama.
Dialog antara utusan al-Hirah dengan Khalid bin al-Walid dicatat dalam sejarah:
> Utusan: “Mengapa kalian datang ke negeri kami? Apakah karena lapar, atau ingin mengambil dunia kami?”
Khalid: “Kami datang bukan untuk dunia. Kami datang untuk mengeluarkan manusia dari penyembahan sesama makhluk kepada penyembahan hanya kepada Allah, dari sempitnya dunia menuju luasnya akhirat, dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam.”
Penduduk pun terdiam, lalu tunduk pada perjanjian damai.
---
Akhir Ekspedisi di Masa Abu Bakr
Dalam satu tahun (12 H / 633 M), Khalid dan pasukannya berhasil:
Menang di Dzat as-Salasil, Mazar, Walaja, Ullais, hingga al-Hirah.
Membuka jalan besar Islam di Irak, meski hanya awal.
Namun, menjelang akhir hayatnya (634 M / 13 H), Abu Bakr menulis surat kepada Khalid:
> “Tinggalkan Irak, pergilah ke Syam. Pasukan di sana lebih membutuhkanmu melawan Bizantium.”
Maka, pasukan Irak diserahkan kepada al-Muthanna bin Harithah, dan Khalid bergerak ke Syam.
---
Kesimpulan Sejarah
Tahun: 12 H / 633 M.
Wilayah: Irak, perbatasan Persia.
Pemimpin Muslim: Khalid bin al-Walid ra.
Hasil: kemenangan demi kemenangan, Persia goyah.
Dampak: membuka jalan bagi penaklukan besar di masa Umar bin Khattab (Qadisiyyah, Nahawand).
---
Persia Sassanid (imperium kuno, megah, tapi lemah secara moral),
Islam (kekuatan baru, penuh iman, sederhana, tapi visioner).
Perang Qādisiyyah (14 H / 636 M)
Latar Belakang
Setelah Khalid bin al-Walid ditarik ke Syam, peperangan di Irak diteruskan oleh al-Muthanna bin Harithah. Persia, merasa terhina karena terus kalah dari kaum muslimin yang jumlahnya lebih kecil, mengumpulkan kekuatan besar.
Khalifah Umar bin Khattab ra di Madinah menerima kabar itu. Ia segera mengirim bala bantuan besar ke Irak, dipimpin oleh Sa’d bin Abi Waqqash ra, salah satu sahabat utama Nabi ﷺ dan panglima yang terkenal tabah.
Lokasi pertempuran: Qādisiyyah, sebuah dataran luas dekat Kufah, Irak.
Pasukan Muslimin: sekitar 30.000 – 40.000 orang (riwayat berbeda), terdiri dari kabilah-kabilah Arab yang telah bersatu.
Pasukan Persia Sassanid: sekitar 120.000 – 200.000 orang, dipimpin oleh panglima legendaris Rustum Farrokhzād. Mereka membawa gajah perang untuk menghancurkan barisan muslim.
Pertempuran dimulai. Gajah-gajah Persia maju, membuat kuda-kuda muslim ketakutan.
Pasukan Islam sempat goyah. Sa’d bin Abi Waqqash yang sakit (karena bisul parah) memimpin dari tempat tinggi, berbaring di dipan sambil memberi instruksi. Ia menulis pesan kepada tentaranya:
> “Tetaplah teguh. Ingatlah kalian sedang berperang di jalan Allah, bukan untuk dunia.”
Pasukan muslim bertahan, meski kacau balau. Hari pertama berakhir tanpa kemenangan jelas.
Hari kedua lebih sengit. Pasukan Persia menyerang dengan formasi penuh, dipimpin Rustum yang berdiri di atas takhta perangnya.
Muslimin terus berdoa memohon pertolongan. Tiba-tiba datang bala bantuan dari Suriah, dipimpin oleh al-Qaqa’ bin ‘Amr at-Tamimi, salah satu panglima muda yang terkenal berani.
Al-Qaqa’ masuk ke medan perang dengan taktik cerdas: ia membagi pasukannya menjadi kelompok kecil, lalu memasukinya satu demi satu sambil bertakbir keras. Persia mengira bala bantuan muslim tak henti-hentinya datang, moral mereka mulai goyah.
---
Hari ketiga, Persia mengerahkan seluruh kekuatan. Gajah-gajah kembali maju.
Al-Qaqa’ dan pasukan muslim menemukan cara: mereka memotong belalai dan kaki gajah dengan tombak, sehingga gajah panik dan malah menginjak tentaranya sendiri.
Pertempuran semakin brutal. Pedang bertemu pedang, tombak menembus tubuh. Malam tiba, kedua pasukan berhenti, tapi suasana penuh jeritan luka.
---
Hari penentuan. Kaum muslimin menyerang habis-habisan. Rustum, panglima Persia, tetap di takhtanya di tepi sungai.
Dalam kekacauan, Hilāl bin ‘Ullafah (seorang prajurit muslim) berhasil menembus barisan dan menyerang Rustum. Ia menebasnya, lalu melempar tubuhnya ke sungai.
Berita kematian Rustum menyebar cepat. Pasukan Persia yang mendengar panik, kehilangan kendali, lalu melarikan diri. Sungai penuh mayat tentara Persia yang tenggelam.
Persia: lebih dari 20.000 – 30.000 tewas, sisanya melarikan diri.
Muslimin: sekitar 8.000 – 10.000 syahid.
Setelah Pertempuran
Kaum muslimin meraih kemenangan besar. Irak terbuka lebar untuk ditaklukkan. Setelah Qādisiyyah, kaum muslimin bergerak ke Mada’in (Ctesiphon), ibu kota Persia, yang akhirnya jatuh.
Dari sana, harta kekayaan Persia yang sangat besar — termasuk takhta emas Kisra — dibawa ke Madinah. Umar bin Khattab menangis ketika melihatnya:
> “Kaum yang menunaikan amanah, pasti Allah muliakan. Kaum yang berkhianat, pasti Allah hinakan.”
---
Makna Perang Qādisiyyah
Politik: Persia mulai runtuh, Islam jadi kekuatan besar di timur.
Militer: Pertempuran menunjukkan kecerdikan taktik muslimin menghadapi gajah perang dan pasukan besar.
Spiritual: Kaum muslimin berperang dengan keyakinan, bukan jumlah.
Penaklukan Mada’in (14 H / 637 M)
Latar Belakang
Setelah Rustum Farrokhzād terbunuh di Qādisiyyah, pasukan Persia kocar-kacir. Namun, imperium Sassanid belum hancur total. Ibu kota mereka, Mada’in (Ctesiphon) — kota megah di tepi sungai Tigris — masih berdiri.
Di sanalah raja muda Persia, Yazdegerd III, berlindung. Ia baru berusia belasan tahun, tapi dipuja bangsanya sebagai harapan terakhir. Setelah mendengar kekalahan Rustum, ia memerintahkan agar semua harta kerajaan dipindahkan ke Mada’in.
Kaum muslimin di bawah pimpinan Sa’d bin Abi Waqqash ra tahu, jika Mada’in jatuh, maka Persia akan benar-benar lumpuh.
Perjalanan ke Mada’in
Sa’d mengumpulkan pasukan. Mereka bergerak menyusuri dataran Irak menuju tepi sungai Tigris.
Di sepanjang jalan, kota-kota kecil Persia menyerah tanpa banyak perlawanan. Penduduknya lebih memilih membayar jizyah daripada berperang.
Akhirnya, pasukan muslim tiba di tepi sungai Tigris. Dari seberang, terlihat dinding kokoh Mada’in, dan di kejauhan, Iwan Kisra — istana besar dengan lengkungan emas yang menjulang tinggi.
---
Keajaiban Menyebrangi Tigris
Saat itu musim hujan, sungai Tigris meluap deras. Pasukan Persia di seberang menertawakan:
> “Lihatlah orang-orang Arab itu! Mereka tidak bisa menyebrangi sungai ini. Mada’in aman!”
Sa’d bin Abi Waqqash menenangkan pasukannya:
> “Wahai kaum muslimin, inilah saatnya kalian menunjukkan tawakal. Katakan: Hasbunallāh wa ni’mal wakīl! Demi Allah, sungai ini akan kita lalui sebagaimana kita menapaki bumi.”
Pasukan muslim mengucapkan takbir serentak. Kuda-kuda diturunkan ke air. Ajaib! Ombak deras tak menghanyutkan mereka. Pasukan muslim menyeberangi Tigris seolah berjalan di atas permukaan air.
Seorang saksi mata berkata:
> “Demi Allah, aku melihat kuda-kuda berlari di sungai seakan di tanah datar. Ombak di kanan kiri mereka, dan suara takbir mengguncang udara.”
Pasukan Persia yang melihat itu langsung panik dan melarikan diri meninggalkan kota.
Mada’in Jatuh
Tanpa perlawanan berarti, Mada’in jatuh ke tangan muslimin. Yazdegerd III melarikan diri ke timur, meninggalkan harta kerajaan.
Kaum muslimin masuk ke Iwan Kisra. Mereka terpana melihat kemewahan yang belum pernah mereka bayangkan:
Permadani raksasa “Farsh al-Bahār” (Karpet Musim Semi) sepanjang puluhan meter, ditaburi permata yang membentuk bunga dan taman.
Peti-peti penuh emas, perak, dan permata.
Peralatan istana berlapis emas.
Sa’d bin Abi Waqqash menangis, lalu berkata:
> “Segala puji bagi Allah yang telah menepati janji-Nya. Negeri Kisra jatuh di tangan kita, sebagaimana Rasulullah ﷺ pernah bersabda: ‘Jika Kisra binasa, maka tak ada Kisra lagi setelahnya.’”
Pembagian Harta
Harta luar biasa itu dikirim ke Madinah. Ketika tiba, Umar bin Khattab ra menangis menyaksikan karunia Allah. Beliau berkata:
> “Kaum yang menunaikan amanah pasti Allah muliakan. Demi Allah, andai bukan karena iman, kaum seperti kalian sudah binasa tertipu harta.”
Karpet megah Persia dipotong-potong lalu dibagi kepada kaum muslimin.
Dampak Penaklukan Mada’in
Persia kehilangan ibu kota bersejarahnya, simbol kejayaan ribuan tahun runtuh.
Yazdegerd III melarikan diri ke timur (akhirnya terbunuh bertahun kemudian).
Islam resmi menguasai Irak secara penuh.
Kemegahan duniawi Persia berakhir, diganti dengan kesederhanaan Islam.
---
Penaklukan Mada’in adalah simbol runtuhnya Kisra — nubuwah Nabi ﷺ jadi nyata. Dari sinilah, Persia tinggal menunggu pukulan terakhir: Perang Nahawand (21 H / 642 M), yang dijuluki “Fath al-Futūh” (Kemenangan dari segala kemenangan).
Perang Nahawand (21 H / 642 M)
(Kemenangan Penentu di Masa Khalifah Umar bin Khattab ra)
Latar Belakang
Setelah ibu kota Mada’in (Ctesiphon) jatuh pada tahun 14 H / 637 M, kekuasaan Persia Sassanid porak-poranda. Namun raja muda Yazdegerd III tidak menyerah. Ia lari ke wilayah timur Persia dan menyeru bangsanya:
> “Wahai Persia! Apakah kalian rela tanah leluhur kita dikuasai orang-orang Arab gurun? Bangkitlah, kumpulkan kekuatan terakhir!”
Seruan itu berhasil. Ribuan prajurit, bangsawan, dan jenderal tua Persia berkumpul di kota Nahawand, sebuah benteng kuat di pegunungan Iran.
Jumlah Pasukan
Persia: sekitar 150.000 – 200.000 prajurit (riwayat berbeda).
Muslimin: sekitar 30.000 – 40.000 prajurit, dipimpin oleh Nu’man bin Muqarrin al-Muzani ra, sahabat mulia.
Kabar itu sampai ke Madinah. Umar bin Khattab ra sempat ingin memimpin sendiri pasukan ke Persia, tapi para sahabat menahannya. Maka Umar menunjuk Nu’man sebagai panglima.
Menuju Nahawand
Pasukan muslim bergerak menuju Nahawand. Dari kejauhan, mereka melihat pasukan Persia yang jumlahnya berkali lipat lebih besar, barisan panjang berkilauan dengan baju besi dan gajah perang.
Nu’man berdiri di hadapan pasukannya. Ia berkata dengan suara lantang:
> “Wahai kaum muslimin, inilah saatnya Allah menepati janji-Nya. Aku memohon kepada Allah: jadikanlah aku syahid hari ini, dan beri kemenangan kepada kalian setelahku.”
Pasukan menjawab dengan takbir: “Allāhu Akbar! Allāhu Akbar!”
Pertempuran Meletus
Hari pertama, Persia bertahan di dalam benteng Nahawand. Mereka tak berani keluar, karena takut menghadapi kelihaian pasukan muslim di medan terbuka.
Nu’man pun membuat strategi cerdik: pura-pura mundur. Pasukan muslim berpura-pura lari meninggalkan posisi mereka.
Pasukan Persia terjebak! Mereka keluar dari benteng, mengejar kaum muslimin dengan teriakan kemenangan. Saat itulah Nu’man memberi aba-aba:
> “Serang! Demi Allah, majulah!”
Pasukan muslim berbalik arah, menyerang Persia dari berbagai sisi. Pertempuran sengit pun pecah.
Syahidnya Nu’man
Di tengah pertempuran, Nu’man bin Muqarrin terkena tombak dan jatuh dari kudanya. Darahnya membasahi tanah Nahawand. Ia masih sempat berpesan:
> “Sampaikan salamku pada Umar. Katakan padanya, aku telah menunaikan janjiku. Aku telah syahid.”
Kepemimpinan segera diambil oleh Hudhayfah bin al-Yaman ra, lalu dilanjutkan oleh al-Mughīrah bin Shu’bah ra. Pasukan muslim tetap teguh.
Kekalahan Persia
Pertempuran berlangsung berjam-jam. Akhirnya, pasukan Persia terjepit. Mereka berlari kembali ke benteng Nahawand, tapi pintu benteng macet, banyak yang terinjak dan tewas.
Persia: lebih dari 100.000 prajurit tewas (riwayat berbeda, tapi jumlahnya sangat besar).
Muslimin: sekitar 4.000 – 6.000 syahid, termasuk panglima mereka, Nu’man bin Muqarrin.
Akhir Pertempuran
Nahawand jatuh. Persia kehilangan pasukan terbaiknya. Yazdegerd III kembali melarikan diri lebih jauh ke timur, dikejar terus hingga akhirnya terbunuh bertahun kemudian.
Ketika berita kemenangan sampai ke Madinah, Umar bin Khattab ra menangis. Ia bersyukur sekaligus berduka atas syahidnya Nu’man:
> “Segala puji bagi Allah yang telah menepati janji-Nya. Kemenangan ini adalah Fath al-Futūh — Kemenangan dari segala kemenangan. Namun Nu’man, engkau telah lebih dulu meraih kemenangan sejati.”
Makna Perang Nahawand
Militer: Persia kehilangan kekuatan utama, tak mampu lagi menyusun pasukan besar.
Politik: Imperium Sassanid runtuh, tinggal Yazdegerd yang lari tanpa daya.
Agama: Islam kini menguasai Persia, cahaya tauhid menyinari tanah yang dulu penuh kekuasaan raja-raja zalim.
---
---
Perang Nahawand disebut “Fath al-Futūh” karena kemenangan inilah yang benar-benar menutup riwayat Persia kuno. Setelah itu, seluruh wilayah Persia terbuka bagi Islam.
