Kejayaan Khilafah Utsmaniyah: Ottoman Empire - Sang Singa Utsmani

Kejayaan Khilafah Utsmaniyah: Sultan Selim I & Sultan Sulaiman Al-Qanuniy

Kejayaan Khilafah Utsmaniyah

Sultan Selim I – Sang Penakluk dari Utara, Pewaris Dua Tanah Suci

Awal Kehidupan Sang Singa Utsmani

Di istana megah di Amasya, pada tahun 1470 M, lahir seorang pangeran yang kelak mengguncang dunia Islam: Selim bin Bayezid, yang dikenal kelak sebagai Yavuz Selim, “Selim yang Gagah dan Garang”.
Ia adalah putra dari Sultan Bayezid II, cucu dari Mehmed Sang Penakluk Konstantinopel. Sejak muda, Selim dikenal tegas, pendiam, namun matanya menyala-nyala setiap kali berbicara soal jihad dan keagungan Islam.
Guru-gurunya mencatat, Selim kecil tidak banyak berbicara tentang puisi seperti saudaranya, Ahmed, tetapi selalu berbicara tentang “pedang, pasukan, dan kemuliaan Islam yang sejati”. Ia menguasai bahasa Arab dan Persia, serta dikenal rajin mempelajari sejarah kekhalifahan Bani Umayyah dan Abbasiyah.
---

Persaingan Berdarah di Dalam Istana

Tahun 1510-an, saat ayahnya Sultan Bayezid II mulai menua, suasana di istana Topkapi menegang.
Putra-putra Bayezid saling berebut tahta. Di antara mereka, yang paling kuat ada dua:
Ahmed, yang didukung ulama dan pejabat istana, lembut dan penyair.
Selim, yang didukung oleh tentara elit Janissari, karena keberaniannya dan sikap kerasnya terhadap musuh-musuh Islam.
Selim berkata kepada ayahnya dalam salah satu pertemuan yang bersejarah:
> “Wahai Ayahanda, dunia Islam kini terpecah. Di timur ada Syi’ah Safawi yang menodai aqidah umat. Di selatan, Mamluk mulai lemah dan mengabaikan tugas melindungi Tanah Suci. Jika bukan kita yang menegakkannya, siapa lagi?”
Namun Sultan Bayezid yang lemah lembut menolak kekerasan anaknya. Ia lebih menyukai Ahmed yang tenang dan sopan.
Tapi sejarah memilih jalan lain.
Tahun 1512 M, pasukan Janissari yang loyal kepada Selim mengepung Istanbul. Sultan Bayezid II dipaksa turun tahta. Selim naik menjadi Sultan Kesembilan Daulah Utsmaniyah, dengan gelar:
> Sultan Selim I bin Bayezid II, Khan al-Ghazi, Penegak Panji Islam.
---

Perang Melawan Syiah Safawi – Pertempuran Chaldiran (1514)

Begitu naik tahta, musuh pertama yang ia hadapi bukan di barat, melainkan di timur.
Shah Ismail I, pendiri Dinasti Safawi di Persia, menyebarkan paham Syiah secara paksa dan mengirim propaganda ke Anatolia untuk melemahkan Utsmani. Ribuan rakyat Sunni dibunuh karena tidak mau mengikuti keyakinannya.
Selim, murka mendengar itu. Ia mengirim surat tegas kepada Shah Ismail:
> “Wahai Ismail, engkau telah menodai darah kaum Muslimin dan mengaku diri Imam tanpa hak. Aku, Selim bin Bayezid, akan datang membawa pedang Allah untuk memisahkan kebenaran dari kebatilan.”
Perang pun tak terelakkan.
Pada 23 Agustus 1514, di padang Chaldiran (Iran barat laut), dua kekuatan besar Islam saling bertemu.
Pasukan Safawi berjumlah 60.000, sedangkan Utsmani membawa 100.000 tentara lengkap dengan meriam dan senjata api — sesuatu yang belum dikenal luas di Timur.
Saat fajar merekah, Selim memerintahkan tentaranya berseru:
> “Takbir! Allahu Akbar! Hari ini kita bukan sekadar melawan orang, tapi menegakkan aqidah!”
Dentuman meriam mengguncang bumi Chaldiran. Pasukan Safawi kocar-kacir. Shah Ismail terluka dan melarikan diri, istrinya tertawan, dan ibukota Tabriz jatuh ke tangan Utsmani.
Kemenangan itu menjadikan Selim sebagai pelindung Sunni terbesar di dunia Islam.
---

Menuju Mesir – Menaklukkan Mamluk dan Tanah Suci (1516–1517)

Namun Selim belum berhenti.
Kabar datang dari selatan — Sultan Mamluk di Mesir, Qansuh al-Ghawri, menolak mengakui kekuasaan Utsmani atas Suriah dan Hijaz (Makkah–Madinah).
Bahkan, Mamluk menampung sisa-sisa pasukan Safawi.
Selim bersumpah:
> “Aku tidak akan kembali ke Istanbul sebelum aku memegang kunci Makkah dan Madinah.”
Tahun 1516 M, Selim memimpin sendiri 60.000 pasukan menuju Suriah.
Dalam Perang Marj Dabiq (24 Agustus 1516), pasukan Utsmani menghancurkan kekuatan Mamluk. Sultan Qansuh tewas di medan perang.
Selim melanjutkan ke Kairo, dan pada 1517 M, Mesir resmi jatuh ke tangan Utsmani setelah Pertempuran Ridaniya.
---

Peristiwa Agung: Penyerahan Khilafah Islam

Kemenangan di Mesir membawa peristiwa bersejarah bagi dunia Islam.
Khalifah al-Mutawakkil III, keturunan Abbasiyah yang selama ini hanya menjadi simbol di bawah kekuasaan Mamluk, menyerahkan jabatan Khalifah kepada Sultan Selim I.
Ia menyerahkan pedang Nabi ﷺ dan jubah Nabi ﷺ kepada Selim sebagai lambang pengalihan kekhalifahan.
Mulai saat itu, Daulah Utsmaniyah menjadi Kekhalifahan Islam Dunia, dan Sultan Selim I tercatat sebagai Khalifah pertama dari Bani Utsman.
---

Sang Penjaga Dua Tanah Suci

Selim memerintahkan agar Makkah dan Madinah dijaga dan diperbaiki.
Ia mengirim karavan besar setiap tahun dari Istanbul ke Hijaz, membawa pakaian Ka’bah (kiswah), emas, dan persediaan untuk penduduknya.
Gelar baru disematkan padanya:
> “Khādim al-Ḥaramayn asy-Syarīfayn” — Penjaga Dua Tanah Suci (Makkah dan Madinah).
Gelar itu terus dipakai oleh seluruh Sultan Utsmani setelahnya, hingga kini menjadi simbol kehormatan bagi para penguasa Muslim.
---

Akhir Kehidupan Sang Singa Utsmani

Namun tubuh baja itu tak selamanya kuat. Setelah hanya 8 tahun memerintah, pada 22 September 1520, Selim wafat di usia 50 tahun karena penyakit kulit parah yang menjalar dari luka pertempuran.
Ia dimakamkan di dekat Masjid Fatih, Istanbul.
Putranya, Suleiman al-Qanuni (Suleiman the Magnificent), menggantikan tahta — dan di bawahnya, Utsmani mencapai puncak kejayaan.
---

Warisan Sang Penakluk

Sultan Selim I hanya berkuasa 8 tahun, namun dalam waktu sesingkat itu:
Ia menaklukkan wilayah tiga kali lebih luas dari yang diperoleh ayahnya.
Ia menyatukan dunia Islam Sunni di bawah satu panji.
Ia menjadikan Turki Utsmani sebagai Kekhalifahan Islam Dunia selama lebih dari 400 tahun.
Di makamnya tertulis sebuah kalimat sederhana tapi penuh makna:
> “Di sini beristirahat Selim, hamba Allah, penjaga dua tanah suci, penakluk timur dan barat.”
---

Sultan Sulaiman al-Qānūnī – Sang Raja Hukum dan Cahaya Kekhalifahan

Warisan dari Ayah yang Gagah
Tahun 1520 M, di istana Topkapi, berita duka menyebar — Sultan Selim I, sang penakluk besar, telah wafat.
Putranya, Pangeran Sulaiman, yang kala itu berusia 26 tahun, naik tahta.
Ia bukan hanya mewarisi mahkota dan pedang ayahnya, tapi juga amanah besar sebagai Khalifah seluruh umat Islam.
Berbeda dengan ayahnya yang keras dan garang, Sulaiman dikenal bijaksana, cerdas, dan berjiwa halus.
Ia mencintai ilmu, keadilan, dan keindahan. Namun jangan salah — di balik kelembutan itu tersembunyi tekad baja yang mampu mengguncang dunia.
Guru-gurunya sering menyebutnya:
> “Sulaiman adalah perpaduan antara hikmah Nabi Dawud dan keberanian Khalid bin Walid.
---

Awal Pemerintahan – Tanda-tanda Keadilan

Hari pertama ia naik tahta, ia berkata di depan para wazir:
> “Aku mewarisi bumi yang luas dari ayahku. Tapi warisan yang sejati bukan tanah — melainkan keadilan. Jika rakyatku lapar, maka akulah yang berdosa di hadapan Allah.”
Dari sinilah gelarnya muncul:
“al-Qānūnī” — Pembuat Undang-Undang, karena ia menyusun sistem hukum Islam dan tata negara Utsmani secara rinci, menggabungkan syariat Islam dan aturan sipil (qanun) agar berjalan seimbang.
---

Mengejutkan Dunia Barat

Tahun 1521 M, hanya setahun setelah naik tahta, Sulaiman memimpin ekspedisi pertama — penaklukan Beograd (Serbia), benteng penting Eropa Timur yang selama ini gagal ditembus ayah dan kakeknya.
Di depan pasukannya, Sulaiman berseru:
> “Wahai para Mujahid! Ini bukan sekadar tanah, tapi pintu menuju Eropa yang selama ini menghalangi cahaya Islam. Hari ini, kita buka gerbang itu dengan izin Allah!”
Selama dua minggu, artileri Utsmani menggempur dinding batu Beograd. Akhirnya kota itu jatuh.
Kemenangan itu menggetarkan Eropa. Dari Roma hingga Wina, raja-raja Kristen mulai panik.
Namun Sulaiman belum berhenti.
---

Rhodes – Sarang Ksatria Salib

Setahun kemudian, 1522 M, ia mengarahkan armadanya ke Pulau Rhodes, markas besar Ksatria St. John, kelompok sisa pasukan Perang Salib yang sering menyerang kapal Muslim di Laut Tengah.
Selama 6 bulan, pertempuran laut dan darat terjadi siang malam.
Komandan Kristen, Grand Master Villiers de l’Isle Adam, akhirnya menyerah.
Sulaiman memerintahkannya pergi dengan terhormat — tanpa ditawan, tanpa dihukum.
> “Pergilah dengan aman. Aku tidak berperang dengan mereka yang menyerah dengan kehormatan,” kata Sulaiman.
Kemenangan itu menjadikan Laut Aegea aman dari bajak laut salibis, dan memperkuat posisi Islam di Laut Tengah.
---

Menuju Jantung Eropa – Pengepungan Wina (1529)

Setelah menaklukkan Hungaria (Pertempuran Mohács, 1526), Sulaiman melanjutkan langkah besar:
Ia memimpin sendiri 200.000 pasukan menuju Wina, ibu kota Austria.
Inilah pertama kalinya panji-panji Islam berkibar di jantung Eropa Tengah.
Namun cuaca buruk, hujan terus-menerus, dan logistik yang sulit membuat pengepungan gagal.
Meski tak menaklukkan Wina, dunia tahu — kekhalifahan Utsmani adalah kekuatan terbesar di bumi.
Seorang utusan Venesia menulis kepada rajanya:
> “Sulaiman bukan manusia biasa. Ia adalah bayangan Allah di bumi, yang setiap keputusannya membuat raja-raja bergetar.”
---

Zaman Keemasan Ilmu dan Peradaban

Selain perang, Sulaiman juga membangun ilmu dan seni.
Ia membangun Masjid Sulaimaniyah di Istanbul — mahakarya arsitektur Islam yang dibuat oleh arsitek besar Mimar Sinan.
Ia membuka madrasah, rumah sakit, dan tempat penampungan miskin di seluruh negeri.
Dalam masa pemerintahannya:
Hukum disusun rapi dan tertulis dalam bahasa Turki dan Arab.
Pajak disederhanakan agar rakyat tidak tertindas.
Korupsi diberantas dengan keras.
Dan semua pejabat diingatkan akan firman Allah:
> “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An-Nisā’: 58)
---

Kisah Cinta dan Ujian Hati

Di balik kejayaan, tersimpan kisah cinta yang mengguncang istana.
Seorang budak perempuan dari Ukraina bernama Hürrem (Roxelana), masuk ke istana Topkapi sebagai tawanan perang.
Namun kecerdasan dan tutur katanya yang lembut memikat hati Sultan.
Ia akhirnya menjadi istri sah Sulaiman — sesuatu yang jarang terjadi bagi sultan Utsmani — dan melahirkan putra-putra yang kelak menjadi penerus.
Namun, kisah ini juga menimbulkan intrik di istana, termasuk tewasnya Mustafa, putra tertua Sulaiman dari istri lain, akibat fitnah dan politik.
Peristiwa ini menjadi luka mendalam yang tak pernah sembuh di hati sang Sultan.
---

Jihad di Lautan – Barbarossa dan Dominasi Laut Tengah

Sulaiman juga mengangkat Khairuddin Barbarossa, laksamana Muslim legendaris dari Aljazair, sebagai panglima armada laut Utsmani.
Di bawahnya, armada Islam menjadi yang terkuat di dunia.
Pada Pertempuran Preveza (1538), gabungan armada Kristen Eropa dikalahkan total oleh pasukan Muslim.
Laut Tengah menjadi “Danau Islam” — tempat kapal Utsmani berlayar tanpa tandingan.
---

Tahun-tahun Terakhir

Di masa tuanya, Sulaiman semakin dekat dengan Allah.
Ia banyak berpuasa, shalat malam, dan menulis puisi sufi dengan nama pena Muhibbi (“Sang Pencinta”).
Dalam salah satu baitnya ia menulis:
> “Tidak ada kerajaan yang lebih indah daripada keadilan,
Tidak ada kekayaan yang lebih besar daripada hati yang bersih.”
Pada 1566 M, saat memimpin ekspedisi terakhir ke Hongaria, di usia 72 tahun, ia wafat di tenda perang — dalam keadaan masih memakai baju zirah dan bersujud setelah shalat Subuh.
Kabar wafatnya disembunyikan oleh wazir agung Sokollu Mehmed Pasha agar pasukan tidak kehilangan semangat hingga kemenangan tercapai.
---

Warisan Seorang Raja Abadi

Sultan Sulaiman al-Qānūnī memerintah selama 46 tahun (1520–1566) — masa terpanjang dalam sejarah Kekhalifahan Utsmani.
Di bawahnya:
Kekuasaan Islam membentang dari Aljazair hingga Irak, dari Hungaria hingga Yaman.
Dunia Islam hidup dalam kemakmuran, keilmuan, dan hukum yang tertata.
Nama “Sulaiman” disebut dengan hormat, bahkan oleh musuh-musuhnya.
Di batu nisannya tertulis kalimat:
> “Hamba Allah yang mencari keadilan, Sulaiman, Khalifah Islam, Penegak syariat di muka bumi.”
To Top